HEAD

Senin, 11 Juli 2011

Menafikan 2 Presiden...ada apa??

menguliti mitos RI buatan Soekarno

Indonesia, menurut catatan sejarah, hingga saat ini sebenarnya sudah dipimpin oleh delapan presiden. Lho, kok bisa? Lalu siapa dua orang lagi yang pernah memimpin Indonesia?
Dua tokoh yang terlewat itu adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat. Keduanya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja. Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal agresi militer kedua, sedangkan Mr. Assaat adalah Presiden RI saat republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949)

Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan agresi militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara 

 Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".

Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI "diproklamasikan" . Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.

Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.


Mr. Assaat

 Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain.
Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.


Dengan demikian, SBY adalah presiden RI yang ke-8. Urutan Presiden RI adalah sebagai berikut: Soekarno (diselingi oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat), Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.


MENGULITI MITOS RI HASIL BUATAN SOEKARNO DENGAN KELOMPOK UNITARIS RI-NYA.

Bagaimana sebenarnya pertumbuhan, perkembangan, mati dan hidupnya RI ini? Mengapa para penerus Soekarno terus memakai cerita mitos 61 tahun?. Padahal NKRI baru dijelmakan pada tanggal 15 Agustus 1950 diatas 15 puing-puing negara bagian RIS dan Acheh serta Maluku Selatan.

Nah, mari kita kupas sedikit bagaimana itu sebenarnya proses tumbuh dan berkembangnya serta mati dan hidupnya RI yang katanya pada hari ini, Kamis, 17 Agustus 2006 NKRI berusia 61 tahun. Apakah benar anggapan para penerus Soekarno ini?

Walaupun di mimbar bebas ini telah berulangkali diungkapkan mengenai proses lajunya sejarah pertumbuhan dan perkembangan serta mati dan hidupnya RI. Tetapi, ada baiknya untuk menjernihkan kembali pikiran kita dari pengaruh mitos buatan Soekarno cs dengan kelompok unitaris RI-nya.

Ketika RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945, secara de-jure Negera RI telah berdiri. Tetapi secara de-facto, artinya wilayah kekuasaannya, masih belum jelas secara pasti dimana batas-batasnya. Dalam hal ini hanya mengikuti apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Mengapa ?

Karena bisa saja yang dimaksud dengan "seluruh tumpah darah Indonesia" itu adalah hanya sekitar Jakarta saja atau hanya seluruh pulau Jawa saja atau hanya sekitar pulau Sumatera saja atau hanya seluas pulau Kalimantan saja atau hanya sekitar pulau Maluku saja. Jadi yang dinamakan dengan "seluruh tumpah darah Indonesia" adalah relatif.

Nah, ketika Soekarno membentuk Kabinet RI pertama pada awal bulan September 1945, ternyata Soekarno mengklaim bahwa "seluruh tumpah darah Indonesia" adalah Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Sehingga diangkatlah 8 orang Gubernur untuk kedelapan propinsi yang diklaim Soekarno itu, salah satu Gubernur yang diangkat Soekarno itu adalah Mr. Teuku Mohammad Hassan untuk propinsi Sumatra. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.30)

Sekarang timbul pertanyaan, apakah benar pengklaiman wilayah RI yang dibuat diatas kertas oleh Soekarno tersebut? Tentu saja jawabannya adalah tidak benar. Mengapa ? Karena terbukti setelah pembentukan Kabinet Pertama RI timbul berbagai perang dimana-mana.

Misalnya di Sumatra pasukan Sekutu (Inggris - Gurkha) yang diboncengi oleh tentara Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administration) dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Medan pada tanggal 9 Oktober 1945. Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan pasukan Belanda yang dikenal dengan pertempuran "Medan Area". Pada tanggal 10 Desember 1945 seluruh daerah Medan digempur pasukan Sekutu dan NICA lewat darat dan udara. Kemudian Padang dan Bukittinggipun digempur pasukan Sekutu dan serdadu NICA.

Sedangkan di Acheh karena Sekutu menggerakkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi dan menghantam pejuang-pejuang Islam Acheh, maka pecahlah pertempuran yang dikenal sebagai peristiwa Krueng Panjo/Bireuen, pada bulan November 1945. Kemudian Sekutu mengirim lagi pasukan Jepang dari Sumatra Timur menyerbu Acheh sehingga terjadi pertempuran besar di sekitar Langsa/Kuala Simpang. Pihak pejuang Islam Acheh yang langsung dipimpin oleh Residen Teuku Nyak Arif. Kemudian pasukan Jepang dapat dipukul mundur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.70-71)

Begitu juga di Jawa, seperti pertempuran di Semarang yang dimulai pada tanggal 14 Oktober 1945 selama lima hari . Perang antara pasukan Veteran Angkatan Laut jepang Kidobutai melawan TKR. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.50)

Selanjutnya pertempuran di Ambarawa yang diawali oleh mendaratnya tentara Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.68)

Seterusnya pertempuran di Surabaya yang dimulai 2 hari setelah Brigae 49/Divisi India ke-23 tentara Sekutu (AFNEI) dibawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat untuk pertamakali di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. . (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.57)

Karena Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby dibunuh, maka pihak Sekutu mengeluarkan ultimatun pada tanggal 9 November 1945. Kemudian pada tanggal 10 November 1945 pecah pertempuran. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.58)

Sekarang, setelah terjadi pertempuran dimana-mana, maka antara pihak RI dan Belanda mengadakan perundingan di Linggajati, yang dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 1947. Penandatanganan persetujuan Linggajati di Istana Rijswijk, sekarang Istana Merdeka, Jakarta. Dari pihak RI ditandatangani oleh Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem, Mr.Soesanto Tirtoprodjo, dan A.K.Gani, sedangkan dari pihak Belanda ditandatangani oleh Prof.Schermerhorn, Dr.van Mook, dan van Poll. Isi perjanjian Linggajati itu, secara de facto RI dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. RI dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS, yang salah satu negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.119,138)

Coba sekarang perhatikan, secara de facto daerah RI setelah perjanjian Linggajati bukan yang diklaim oleh Soekarno pada mulanya yaitu Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan, tetapi ternyata hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura.

Kemudian kalau kita mempelajari lebih lanjut, dari mulai tanggal 25 Maret 1947, ternyata daerah wilayah de-facto Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan tidak lagi termasuk wilayah de-facto dan de-jure RI. Karena wilayah daerah kekuasaan RI secara de-facto hanayalah Sumatera, Jawa dan Madura.

Seterusnya, 10 bulan kemudian, diadakan perundingan Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, dimana dari hasil perjanjian Renville yang sebagian isinya menyangkut gencatan senjata disepanjang garis Van Mook dan pembentukan daerah-daerah kosong militer. Secara de jure dan de facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta dan daerah sekitarnya saja. Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.155,163)

Sekarang yang dipertanyakan adalah, apa yang terjadi setelah perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948.? Ternyata wilayah kekuasaan secara de-facto dan de-jure RI adalah di Yogyakarta dan daerah sekitarnya. Jadi, akibat dari ditandatangani Perjanjian Renville inilah kekuasaan wilayah RI hanya di Yogyakarta dan daerah sekitarnya saja.

Seterusnya, apa yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948? Ternyata setelah wilayah Negara RI pimpinan Soekarno digempur oleh pasukan Beel pada tanggal 19 Desember 1948 dan TNI tidak mampu melawan pasukan Beel, akhirnya Yogyakarta dan daerah sekitarnya jatuh, Soekarno dan Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Bangka.

Nah, dari sejak tanggal 19 Desember 1948 inilah diawali babak baru RI yang diproklamasikan Soekarno secare de-facto dan de-jure lenyap dari permukaan bumi, yang timbul adalah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk oleh Sjafruddin Prawiranegara berdasarkan dasar hukum mandat yang dibuat dalam Sidang Kabinet RI yang masih sempat diajalankan sebelum RI lenyap, dan sempat dikirimkan melalui radiogram kepada Sjafruddin Prawiranegara yang waktu itu berada di Sumatera.

Kemudian, disaat RI hilang dari permukaan bumi dan Soekarno cs di mendekam di Bangka, lahirlah Resolusi PBB No.67(1949) tanggal 28 Januari 1949, yang sebagian isinya menyatakan:

The Security Council,

Noting with satisfaction that the parties continue to adhere the principles of the Renville Agreement and agree that free and democratic elections should be held throughout Indonesia for the purpose of establishing a constituent assembly at the earlist practicable date...

Noting also with satisfaction that the Goverenment of the Netherlands plans to transfer sovereignty to the United States of Indonesia by 1 January 1950 if possible, and in any caseduring the year 1950.

3. Recommends that, in the interest of carrying out the expressed objectives and desires of both parties to establish a federal, independent and sovereign United States of Indonesia at the earliest possible date, negotiations be undertaken as soon as possible by representatives of the Goverenment of the Netherlands and refresentatives of the Republic of Indonesia, with the assistance of the Commission referred to in paragraph 4 below, on the basis of the principles set forth in the Linggadjati and Renville Agreements. (PBB resolution No.67(1949), 28 January 1949, adopted at the 406th meeting)

Nah disini kelihatan bahwa berdasarkan Resolusi PBB no.67(1949) tanggal 28 Januari 1949 dinyatakan bahwa hasil Perjanjian Linggajati 25 Maret 1947 dan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 adalah merupakan dasar hukum untuk membentuk Negara Indonesia Serikat yang berbentuk federasi yang akan diakui kedaulatannya oleh Belanda paling lambat tanggal 1 Januari 1950.

Mengapa dimasukkan hasil Perjanjian Linggajati dan Perjanjian Renville dalam Resolusi PBBNo.67(1949) itu?

Karena, dalam Perjanjian Linggajati 25 Maret 1947 disebutkan bahwa RI dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.

Kemudian dari hasil Perjanjian Renville 17 Januari 1948 dinyatakan menyangkut gencatan senjata disepanjang garis Van Mook dan pembentukan daerah-daerah kosong militer. (Sehingga terlihat secara de-jure dan de-facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja)

Jadi untuk pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada United States of Indonesia atau Negara Indonesia Serikat perlu segera diadakan perundingan baru untuk membentuk satu negara yang berbentuk federasi dimana negara RI adalah salah satu Negara Bagian United States of Indonesia.

Berdasarkan Resolusi PBB No.67(1949) melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia dibawah Sjafruddin Prawiranegara mengadakan perundingan baru yang disebut perundingan Roem Royen.

Pihak RI yang pemerintahnya digantikan oleh PDRI diwakili oleh delegasi yang dipimpin oleh Mr. Moh. Roem sedangkan pihak Belanda diketuai oleh Dr. Van Royen. Dimana perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Jakarta yang sebagian isinya adalah turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Dimana Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.210).

Berdasarkan hasil perundingan Roem Royen inilah, pada tanggal 6 Juli 1949 Soekarno dan Mohammad Hatta dibebaskan dan bisa kembali lagi ke Yogyakarta. Dan untuk menghidupkan kembali Negara RI yang telah hilang itu secara de-facto dan de-jure ini, pihak Pemerintah Darurat Republik Indonesia dibawah pimpinan Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan lagi mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta.

Kemudian, sebelum dilangsungkan Konferensi Meja Bundar, pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli sampai tanggal 2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Kenferensi Inter-Indonesia antara wakil-wakil RI dan Pemimpin-Pemimpin Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal. Dalam sebagian besar pembicaraan di Konferensi Inter-Indonesia ini adalah membicarakan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Selanjunya pada tanggal 23 Agustus 1949 dilaksanakan Perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Ridderzaal, Den Haag, Belanda.

Ada 4 utusan yang ikut dalam KMB ini.

Pertama, utusan dari Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. Dimana BFO ini anggotanya adalah 15 Negara/Daerah Bagian, yaitu Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Daerah Banjar, Daerah Bangka, Daerah Belitung, Daerah Dayak Besar, Daerah Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Daerah Kalimantan Tenggara, Daerah Kalimantan Timur, Negara Pasundan, Daerah Riau, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Sumatra Timur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.244).

Kedua, utusan dari Republik Indonesia menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang anggota juru rundingnya adalah Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Dr. Soekiman, Mr. Soeyono Hadinoto, Dr. Soemitro djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Soemardi.

Ketiga, utusan dari Kerajaan Belanda yang delegasinya diketuai oleh Mr. Van Maarseveen.

Keempat, utusan dari United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dipimpin oleh Chritchley.

Dimana dalam perundingan KMB ini yang hasilnya ditandatangani pada tanggal 2 November 1949 telah disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949. Mengenai Irian barat penyelesaiannya ditunda selama satu tahun. Pembubaran KNIL dan pemasukan bekas anggota KNIL ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), adanya satu misi militer Belanda di Indonesia, untuk membantu melatih APRIS dan pemulangan anggota KL dan KM ke Negeri Belanda. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.236- 237).

Kemudian realisasi dan pelaksanaan dari hasil hasil perundingan KMB ini yaitu,

Pertama, pada tanggal 14 Desember 1949 pihak RI masuk menjadi anggota Negara Bagian RIS dengan menandatangani Piagam Konstitusi RIS di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, yang ditandatangani oleh para utusan dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS, yaitu Mr. Susanto Tirtoprodjo (Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville), Sultan Hamid II (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), Ide Anak Agoeng Gde Agoeng (Negara Indonesia Timur), R.A.A. Tjakraningrat (Negara Madura), Mohammad Hanafiah (Daerah Banjar), Mohammad Jusuf Rasidi (Bangka), K.A. Mohammad Jusuf (Belitung), Muhran bin Haji Ali (Dayak Besar), Dr. R.V. Sudjito (Jawa Tengah), Raden Soedarmo (Negara Jawa Timur), M. Jamani (Kalimantan Tenggara), A.P. Sosronegoro (Kalimantan Timur), Mr. Djumhana Wiriatmadja (Negara Pasundan), Radja Mohammad (Riau), Abdul Malik (Negara Sumatra Selatan), dan Radja Kaliamsyah Sinaga (Negara Sumatra Timur). (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.243-244).

Kedua, pada tanggal 15-16 Desember 1949 diadakan sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS dimana para anggota Dewan Pemilihan Presiden RIS memilih Soekarno untuk dijadikan sebagai pemimpin RIS. Pada tanggal 17 Desember 1949 Soekarno dilantik jadi Presiden RIS. Sedangkan untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta yang dilantik pada tanggal 20 Desember 1949. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.244).

Ketiga, jabatan Presiden RI diserahkan dari Soekarno kepada Mr. Asaat sebagai Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI pada 27 Desember 1949.

Keempat, pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 251)

Sekarang jelaslah sudah, bahwa yang dinamakan RI yang diproklamirkan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 yang daerah kekuasaannya sekitar Yogyakarta pada tanggal 14 Desember 1949 secara resmi telah menjadi Negara bagian RIS. Dimana kedaulatan RIS inilah yang diakui oleh Belanda, bukan RI. Negara RI adalah hanya Negara bagian RIS.

Kemudian, apakah taktik dan strategi Soekarno untuk merelisasikan kebijaksanaan politik, pertahanan, keamanan dan agresinya dengan memakai kendaraan RI dan RIS-nya ini selanjutnya?

Mari kita melihat dan mengupasnya.

Taktik dan strategi Soekarno selanjutnya adalah menetapkan dan mensahkan dasar hukum Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS yang dikeluarkan pada tanggal 8 Maret 1950.

Nah, inilah salah satu senjata untuk menelan 15 Negara-Negara Bagian RIS.

Lalu langkah Soekarno selanjutnya pada 14 Agustus 1950 melalui Parlemen dan Senat RIS mensahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 42).

Nah, inilah yang membedakan antara RI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan NKRI yang akan dijelmakan pada tanggal 15 Agustus 1950.

Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1950 ditetapkan Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi oleh Presiden RIS Soekarno yang membagi NKRI menjadi 10 daerah propinsi yaitu, 1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur, 4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera - Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan, 8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda - Kecil apabila RIS telah dilebur menjadi NKRI.

Nah inilah hasil penelanan Soekarno dengan senjata tipuannya yang bernama Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS.

Seterusnya Soekarno sebagai Presiden RIS menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang termasuk didalamnya wilayah daerah Acheh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3. Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara.

Nah, disinilah kelihatan Acheh disantap Soekarno dengan RIS-nya melalui jalur Sumatera Utara.

Kita lanjutkan lagi dengan pandangan diarahkan pada 16 anggota Negara-Negara dan daerah-Daerah bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan melebur, yaitu Negara RI menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Daerah Banjar, Bangka, Belitung, Dayak Besar, Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Negara Pasundan, Riau, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Sumatra Timur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.243-244).

Selanjutnya apa yang terjadi pada tanggal 15 Agustus 1950?

Ternyata terlihat jelas dan terang bahwa anggota Negara-Negara dan Daerah-Daerah bagian RIS dilebur kedalam tubuh Negara RI. Sejak 15 Agustus 1950 Negara RI yang telah mengembang dan besar tubuhnya karena menelan 15 Negara Bagian RIS menjelma menjadi NKRI yang terdiri dari sepuluh Propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.

Inilah fakta, bukti, hukum dan sejarah mengenai pertumbuhan dan perkembangan RI yang diproklamasikan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 yang sampai kepada titik ujung dengan nama NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950.

Sekarang kita kupas mengenai bagaimana Soekarno merobah kembali NKRI menjadi RI lagi yang berwajah baru.

Soekarno yang menjalankan kebijaksanaan politik, pertahanan, keamanan dan agresi terhadap Negara-Negara dan Daerah-Daerah serta Negeri-Negeri yang berada diluar wilayah kekuasaan de-facto dan de-jure Negara RI yang menjelma menjadi NKRI.

9 tahun setelah RI dijelmakan menjadi NKRI yang dibangun diatas puing-puing bekas Negara-Negara dan Daerah-Daerah bagian RIS Soekarno melakukan kembali operasi besar-besaran untuk membelah dan melebur NKRI menjadi Negara RI lagi yang berwajah baru. Dimana taktik dan strategi Soekarno yang dijalankannya itu adalah dalam rangka membentuk kembali RI yang berwajah baru dari tubuh NKRI yaitu dengan cara menempuh jalur proses Konsepsi Soekarno atau Konsepsi Presiden Soekarno.

Ketika Kabinet Burhanuddin Harahap yang dilantik pada tanggal 12 Agustus 1955 yang menggantikan Kabinet Ali-Wongso dalam program Kabinet-nya dicantumkan salah satu Program akan melaksanakan program pelaksanaan PemilihanUmum.

Nah, realisasinya adalah pada tanggal 29 September 1955 diselenggarakan Pemilihan Umum pertama untuk memilih anggota-anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk pemilihan anggota-anggota Konstituante atau Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar. Dimana anggota-anggota DPR yang akan dipilih sebanyak 272 anggota. Sedangkan untuk anggota-anggota Konstituante berjumlah 542 anggota. Dalam pemilihan Umum untuk anggota DPR telah keluar 5 besar partai politik, pertama Fraksi Masyumi menggembol 60 kursi, Fraksi PNI menduduki 58 kursi, Fraksi NU mendapat 47 kursi, Fraksi PKI memborong 32 kursi Fraksi Nasional Progresif memperoleh 11 kursi, sedangkan sisa kursi lainnya diduduki oleh Fraksi-Fraksi DPR lainnya. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.88-89)

Pada tanggal 20 Maret 1956 dilantik anggota DPR dan pada tanggal 10 November 1956 dilantik anggota Konstituante oleh Soekarno. Kabinet pertama setelah DPR hasil pemilu pertama dibentuk adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dikenal dengan nama Kabinet Ali II. Tetapi usia Kabinet Ali II tidak lebih dari satu tahun. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.97-98)

Ternyata usia Kabinet Ali II ini tidak lebih dari satu tahun, disebabkan oleh Soekarno yang menjalankan Konsepsi Soekarno yang mengarah kepada konsepsi cengkeraman tangan besi.

Dimana pokok-pokok Konsepsi Presiden Soekarno itu berisikan bahwa sistem demokrasi Parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, karena itu perlu diganti dengan sistem demokrasi Terpimpin. Dimana untuk pelaksanaan demokrasi Terpimpin ini perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dan perlu mengetengahkan kabinet kaki empat yang terdiri dari empat partai besar yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI. Juga perlu dibentuk Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dimana tugas utama Dewan Nasional ini adalah memberi nasihat kepada Kabinet baik diminta maupun tidak diminta. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.107)

Akibat Konsepsi Soekarno ini, ternyata tidak lama kemudian Kabinet Ali II dibawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengembalikan lagi mandatnya kepada Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957.

Selanjutnya langkah yang ditempuh Soekarno, setengah jam setelah Kabinet Ali II menyerahkan mandat, Soekarno menyatakan negara dalam keadaan darurat perang, dan pada tanggal 17 Desember 1957 Keadaan Darurat Perang ditingkatkan menjadi Keadaan Bahaya Tingkat Keadaan Perang. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.109)

Setelah Soekarno menyatakan Keadaan Bahaya Tingkat Keadaan Perang, kemudian menunjuk Soewirjo menjadi formatur. Dua kali Soewirjo berusaha membentuk Kabinet, tetapi kedua-duanya gagal. Akhirnya, Soekarno mengangkat dirinya sebagai formatur. Dimana formatur Soekarno ini membentuk Kabinet darurat Ekstraparlementer dengan Djuanda sebagai Perdana Menteri, yang menyusun program Kabinetnya diantara Program Kabinet-nya itu adalah membentuk Dewan Nasional, dan normalisasi keadaan di NKRI. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.110)

Sidang Konstituante hasil Pemilihan Umum 15 Desember 1955 yang berlangsung dari tanggal 10 November 1956 ternyata masih belum berhasil menggoalkan Undang Undang Dasar.

Sebagian anggota Konstituante menginginkan kembali ke Undang Undang Dasar yang berisikan sila-sila pancasila dalam Pembukaannya, sedangkan sebagian anggota lainnya menginginkan Undang Undang Dasar yang memiliki dasar Islam yang dipelopori oleh M. Natsir seperti yang dinyatakan dalam pidatonya yang disampaikan di Dewan Konstituante yang berjudul "Islam debagai dasar Negara", pada tanggal 12 November 1957. (S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, 1987, hal. 94)

Ternyata Soekarno membalas pidato M.Natsir, pada tanggal 22 April 1959 Soekarno menyampaikan pidatonya di Dewan Konstituante dengan isi amanatnya menyerukan agar kembali kepada Undang Undang Dasar 1945.

Disini kelihatan ada dua kubu, yaitu kubu Soekarno yang ingin kembali kepada UUD 1945 yang berisikan pancasila dalam Pembukaan UUD 1945-nya, dan kubu M.Natsir yang menginginkan UUD yang berdasarkan Islam.

Kemudian pada tanggal 30 Mei 1959 dilangsungkan pemungutan suara, ternyata suara yang ingin kembali ke UUD 1945 sebanyak 269 anggota, sedangkan 199 anggota menghendaki UUD yang berdasarkan Islam.

Menurut pasal 137 UUD 1950 dinyatakan bahwa UUD bisa disyahkan dengan suara mayoritas dua pertiga dari jumlah suara yang masuk.

Karena hasil pemungutan suara pertama tidak mencapai mayoritas dua pertiga jumlah suara, maka pada tanggal 1 Juni 1959, diadakan lagi pemungutan suara kedua, ternyata hasilnya 263 setuju ke UUD 1945, sedangkan 203 menghendaki UUD yang berdasar Islam. Karena dalam pemungutan suara ini juga tidak mencapai jumlah dua pertiga dari jumlah suara yang masuk, maka besoknya, tanggal 2 Juni diadakan lagi pemungutan suara, ternyata 264 menginginkan UUD 1945, dan 204 menghendaki UUD Islam. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.139-141)

Setelah Soekarno melihat dan mengetahui bahwa anggota Konstituante tidak berhasil menghasilkan suara mayoritas kembali ke UUD 1945, kemudian Soekarno dengan Surat Keputusan Presiden Tentang Keadaan Bahaya Tingkat Keadaan Perang 14 Maret 1957 dan bersama Kabinet Darurat Ekstraparlementer yang disetujui oleh TNI dan pembenaran dari Mahkamah Agung, dengan lantangnya di Istana Merdeka pada tanggal 5 Juli 1959 membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
 Menetapkan pembubaran Konstituante. Menetapkan Undang Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang Undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota anggota DPR ditambah dengan utusan dari Daerah daerah dan Golongan golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 5 Juli 1959. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.143)

Sekarang jelas sudah, bahwa Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah merobah NKRI menjadi Negara RI lagi.

Sungguh kelihatan tipu muslihat dan kelicikan Soekarno dalam menjalankan strategi pencaplokan Negara-Negara, Daerah-Daerah dan Negeri-Negeri diluar wilayah de-facto Negara RI.

Ternyata dengan strategi "Konsepsi Presiden Soekarno" menjadilah Soekarno seorang pemimpin yang penuh dengan semangat untuk mengurung dan mengikat serta memaksakan seluruh Negara-Negara dan Daerah-Daearah bekas Negara Bagian RIS dan Negeri-Negeri diluar RIS seperti Negeri Acheh, Maluku Selatan dan Papua Barat untuk berada dalam kekuasaan NKRI yang dikontrol oleh orang-orang dari Jawa dan tidak memberikan ruang gerak terhadap keinginan, cita-cita dan nasib setiap suku atau bangsa yang berada dalam NKRI.

Soekarno tidak mampu memimpin negara dengan bijaksana penuh dengan musyawarah, Soekarno hanya pandai menipu dan membohongi lawan politiknya, Soekarno hanya pandai menggunakan Angkatan Perang-nya untuk menguasai, menduduki dan menjajah Negara-Negara dan Daerah-Daerah serta Negeri lainnya.

Akibatnya, generasi yang dikemudian hari yang menerima hasil pahit dari segala kebijaksanaan politik, keamanan, pertahanan dan agresi Soekarno yang telah dijalankan dimuka bumi NKRI yang sejak 5 Juli 1959 telah berobah menjadi Negara RI lagi dengan wajah baru.

Inilah alasan fakta, bukti, sejarah dan hukum tentang tipu daya Soekarno merobah NKRI menjadi RI lagi dengan mempergunakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 agar seluruh rakyat NKRI menjadi rakyat RI dengan UUD 1945 dan Pancasila-nya yang dikenal sampai saat sekarang ini.

Sehingga generasi baru sekarang ini yang tahu hanya Negara RI dengan UUD 1945. Padahal sebenarnya sebelum menjadi Negara RI sekarang ini, Negara RI telah tumbuh dan berkembang melalui proses yang bermacam ragam dari mulai hilang lenyap setelah digempur pasukan Beel di Yogyakarta. Penyerahan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI Pengasingan di Acheh. Selanjutnya hidup kembali pada tanggal 13 Juli 1949 setelah PDRI mengembalikan mandatnya kepada Mohammad Hatta di Jakarta. Disusul masuk menjadi Negara Bagian RIS. Menelan Negara-Negara dan Daerah-Daerah anggota Negara Bagian RIS. Mencaplok Negeri diluar RIS seperti Negeri Acheh dan Maluku Selatan serta Papua Barat. Kemudian menjelma menjadi NKRI. Terakhir ini berobah kembali dari NKRI menjadi RI melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan UUD 1945 dan dasar negara Pancasila-nya yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Jadi kesimpulannya adalah berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan hukum diatas membuktikan bahwa RI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah hilang pada tanggal 19 Desember 1948. Muncul PDRI sampai tanggal 13 juli 1949. Kemudian RI hidup kembali pada tanggal 13 Juli 1949 setelah PDRI menyerahkan mandatnya, lalu PDRI mati. RI masuk menjadi anggota Negara Bagian RIS pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya RI dijelmakan menjadi NKRI setelah Negara Bagian RI menelan 15 Negara-Negara Bagian RIS lainnya pada tanggal 15 Agustus 1950. Begitu juga RI yang ada sekarang adalah hasil sulapan Soekarno dari NKRI yang ber UUD 1950 dengan sulap Dekrit Presiden 5 juli 1959.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hilangnya Nilai Proklamasi RI

1). Kronologi Mengenai Hilangnya Nilai Proklamasi 17-8-1945
Sebenarnya, sebelum peristiwa 19  Desember 1948 pun telah terjadi dua kali penghianatan oleh para pemimpin  RI itu terhadap nilai Proklamasi itu sendiri. Buktinya ialah:
a). Bahwa sebagaian bunyi proklamasi 17-08-1945 “Menyatakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia”. Akan tetapi, tanggal 25 Maret 1947 dalam “Persetujuan Linggar Jati” mereka telah mengakui berdirinya “NIS” (Negara Indonesia Serikat) yang wilayahnya yaitu Borneo (Kalimantan) dan Timur Besar di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga wilayah kekuasaan Republik Indonesia tinggal Sumatera, Jawa dan Madura.
b). Kemudian pada tanggal 17 Januari 1948, mereka itu menerima pula dasar-dasar persetujuan Renville ke I yang isinya antara lain:
* Pemerintahan Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda seluruhnya, sampai batas yang ditentukan oleh Kerajaan Belanda untuk menyelenggarakan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat.
* Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan dan tidak lebih dari satu tahun sesudah ditandatangani, maka di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara, untuk menentukan apakah di daerah-daerah tesebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk di bagian lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat.
Dengan diterimanya dasar-dasar Perjanjian Renville itu, maka wilayah kekuasaan  proklamasi kemerdekan Indonesia itu menjadi lebih kecil lagi (sampai batas demarkasi Van Mook). Jelas, ini penghianatan terhadap nilai proklamasi 17 Agustus 1945 oleh para pemimpinnya itu sendiri. Dengan mengakui adanya kedaulatan Belanda di bagian wilayah Indonesia, juga menyetujui diadakan pemungutan suara yang disodorkan Belanda bagi penentuan kedaulatan, berarti leyaplah nilai proklamasi kemerdekan seluruh bangsa Indonesia.

Adanya penerimaan terhadap dasar-dasar dari kedua peristiwa perjanjian dengan Belanda itu, telah mengisyaratkan bahwa para pemimpin Republik Indonesia itu sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap proklamasinya. Sehingga bersedia didekte oleh kaum penjajah. Klimaks dari sejarah itu membuat kaum imperalis tesebut tadi berani menyerang dan menduduki ibu kota Yogyakarta.       Dan membuatnya Republik Indonesia menyerah secara keseluruhan kepada Belanda.  Dalam pada itu pemimpi-pemimpin Indonesia telah kehilangan muka. “Nasution malah menganggap peristiwa itu “puncak kehinaan” (“Tempo”, 20 Maret 1982,hal.13)”.

2). Lenyapnya Estapeta Kepemimpinan Mengenai RI
Tentu mereka tidak usah merasa malu dan hina seandainya dalam keadaan itu masih ada estapeta kepemimpinan Sukarno kepada pelanjutnya. Akan tetapi, persoalannya lain lagi, karena mereka menginsafi kenyataan bahwa “Pengibaran Bendera Putih” di tempat kepresidenan itu adalah merupakan peristiwa yang secara total Republik Indonesia menyerah terhadap Belanda. Sehingga melenyapkan landasan estapeta kepemimpinannya. Baik de facto maupun de jure, setelah peristiwa 19 Desember 1948 Sukarno itu bukan lagi presiden yang mana telah menyerahkan Republik kepada Belanda.

Memang, pada tanggal 22 Desember 1948 muncul PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam pengasingannya yang diketuai oleh Syafrudin Prawiranegara, namun dalam kenyataannya pula diketahui bahwa PDRI itu tidak ada hubungannya dengan Sukarno. Yang mana Sukarno itu menganggap sepi tehadap PRDI. Sikap Sukarno sedemikian itu mungkin karena merasa tidak memberi mandat tentang dibentuknya PDRI. Hal itu diakui pula oleh syafrudin “. . . saya tidak pernah menerima mandat itu… (“Tempo”,21 Desember 1985 hal.13).” Juga, kita kutip keterangan yang bunyinya:”… Kami tidak pernah menerima pesan yang berisi mandat bagi Syafrudin untuk membentuk PDRI, “ujar Kolonel (pur) Kusnadi, salah seorang teknisi dan radio telegrafis kala itu. (“Tempo”,21 Desember 1985 hal.13).”  Ringkasnya, PDRI diibentuk terutama inisiatif penuh tokoh-tokoh sipil di Sumatra Barat (“Tempo”21 Desember1985 hal.13).”

Juga, seandainya Sukarno memberi mandat kepada Syafrudin tentang PDRI maka apakah yang akan dijadikan landasan struktural mengenai estapeta kepemimpinannya dari Sukarno ? Bukankah Sukarno bersama dewan menterinya telah frustasi, mementingkan keselamatan pribadi-pribadinya sehingga memilih pengibaran bendera putih sebagai tanda menyerah ? Tidakkah peristiwa pada 19 Desember 1948 dengan keputusan dari sidang Dewan Menteri pemerintahan Sukarno itu, merupakan penumbukkan yang ketiga kalinya terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh pihak nasionalisnya itu sendiri sehingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu bubar ?     Ingatlah ! “. . bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 itu sidang di Gedung Agung Yogya memutuskan tidak memilih jalan gerilya (“Tempo”21 Desember 1985 hal.13).”  Dengan Keputusan Sedemikian itu berarti tidak akan meneruskan perjuangan. Dengan itu pula maka jelas tidak ada estapeta kepemimpinan dari RI ke PDRI.

3). Menyerahnya PDRI
Bagi pihak Nederland dalam menghadapi beberapa kesatuan gerilya yang telah siap melanjutkan perjuangan di luar kepemimpinan Sukarno, maka pihak Belanda itu bersedia membebaskan Sukarno-Hatta beserta tawanan-tawan lainnya untuk diajak berunding. Adapun dalam menghadapi perundingan tanggal 7 Mei 1949 antara Belanda dengan kaum nasionalis itu, maka “. . Sukarno memberi mandat kepada Moh. Roem untuk berunding dengan Van Royen di pihak Belanda, tidak dengan pengetahuan dan persetujuan PDRI. Padahal, baik de facto maupun  de jure, Sukarno bukanlah presiden. Syafrudin menolak isi perundingan Roem-Royen itu. “Kami ingin agar Belanda mengundurkan diri dari seluruh Indonesia, dan bukan hanya dari Yogya, “ucap syarifudin. “Kalau PDRI yang berunding, pasti hasilnya lebih bagus. Tapi Bung Karno memang menganggap sepele PDRI (“Tempo”,21 Desember 1985 hal.13).” Ditambah pula “Sukarno mau berunding, sebenarnya hanya supaya dia cepat keluar dari tahanan, “Kata Syafrudin (Ibid hal.14).”

Dengan sikap yang dilakukan Sukarno itu, telah membuktikan sejarah bahwa secara hukum ; baik formal maupun tidak, maka Sukarno tidak tahu-menahu mengenai PDRI. Dan logisnya bila dalam perundingan pada tanggal 7 Mei 1949 (Renville II ) itu, kubu nasionalis kelompok Sukarno tidak mengatas-namakan PDRI. Apalagi bahwa hasil perundingan pada waktu itu pihak Sukarno mengakui bertambah luasnya wilayah kekuasan Belanda yaitu Negara Indonesia Serikat (NIS). Yang mana secara tidak langsung berarti mengakui bedirinya negara boneka tersebut itu di Indonesia. Sehingga wilayah kekuasaan Sukarno hanya di Yogyakarta dan beberapa kabupaten.
Hal tersebut di atas itu berarti pula mereka masih mengakui Penjajahan Belanda atas Indonesia, dan  mengakui bubarnya proklamasi kemerdekaan bagi seluruh Indonesia, yang timbal baliknya dari Belanda yaitu membiarkan  para pemimpin Nasionalis kembali ke Yogyakarta, juga Belanda meninggalkan daerah itu. Padahal dengan ditinggalkanya Yogyakarta oleh kaum Imperalisme itu tidaklah mengandung arti kerugian bagi Belanda. Bahkan darinya mengandung arti kemenangan politik bagi kaum kolonialis tersebut di dunia Internasional. Sebab, di samping de facto maka secara yuridis formal pun kekuasaan tetap ditangan Belanda. Yang mana dari Isinya “Perjanjian Renville II” pun, secara tidak langsung bahwa kubu Yogya telah mengakui kembali “penjajahan Belanda atas Indonesia”. Sehingga hilang nilai kemerdekaan bangsa Indonesia beserta proklamasi 17 Agustus 1945 nya.
Dan dengan diterimanya isi perundingan 7 Mei 1949 (statement Roem-Royen yang kedua) oleh pihak Sukarno, berarti pihak Yogya “tidak mengakui eksistensinya PDRI“. Sehingga diambil manfaatnya oleh Belanda guna melumpuhkan gerilyanya PDRI  yang mungkin tadinya bakal ngotot terhadap Belanda, tetapi menjadi lemah karena menghadapi kubu nasionalis pro Sukarno yang telah kembali ke Yogya, yang mana juga Sukarno itu  memihak pada kehendak Belanda daripada ke PDRI. “saya tetap menyesalkan sikap Bung Karno dan Roem yang mestinya berpihak PDRI. Lebih menyakitkan lagi, perundingan Roem-Royen itu dilakukan di belakang kami, “kata Syarifudin. “  (“Tempo”,21 Desember 1985 hal.14).”

Pada mulanya para pemimpin kubu PDRI itu tidak akan menyerah terhadap kekuatan Sukarno itu di Yogyakarta “Semuanya tak mau kembali ke Yogya ( Ibid ).” Akan tetapi, karena kubu PDRI itu memahami bahwa kekuatan dan pengaruh yang dimiliki Sukarno itu lebih hebat daripada Syafrudin, maka PDRI tidak sanggup bersaing dalam menghadapi pentas politik kubu Yogya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syafrudin: “Saya sepaham dengan pandangan saudara-saudara, tetapi jangan lupa bahwa dunia luar mengetahui siapa Sukarno – Hatta dan Balans Republik Indonesia lebih berat kepada beliau berdua. . . .(“BPSIM.1981, hal. 350 ).” Dan akhirnya pada tanggal 13 Juli 1949 Syarifudin pun datang  ke Yogyakarta menyerah kepada Sukarno. Maka, lenyap pula PDRI.

Yang berkuasa di Yogyakarta ialah RI, negara pemberian Belanda  yang dikepalai oleh Sukarno, sebagai rekayasa dari Belanda dalam Perundingan Renville II tanpa sepengetahuan PDRI, yang berarti RI Yogyakarta itu tidak mengakui eksistensi PDRI. Dengan itu berarti pula Sukarno “tidak mengakui adanya mandat kepada Syafrudin (PDRI)”, dibuktikan dengan tidak berpihak kepada PDRI. Artinya, Sukarno yang  merasa berkuasa. Dengan demikian kembalinya Syafrudin  ke Yogyakarta itu secara hukum bukanlah menyerahkan mandat, melainkan menyerah kalah. Sebab, tidak masuk akal menyerahkan mandat kepada yang tidak mengakui mandat. Menyerah kepada negara ‘boneka’ (RI pemberian Belanda yang wilayahnya cuma Yogyakarta dan beberapa kabupaten sekitarnya), maka  yang ada tetap saja  seperti itu.

4). Satu-satunya Jalan Bagi Umat Islam Indonesia
Tiga kali peristiwa yaitu: Linggarjati (25 Maret 1947), Renville I(17 Januari 1948), dan pengibaran bendera putih di Yogyakarta (19 Desember 1948), yang mana Belanda telah memainkan api. Juga, para pemimpin nasionalis selalu mengikuti kehendak kaum kolonialis tersebut. Sehingga secara sadar atau tidak, mereka telah mempereteli proklamasi 17 Agustus 1945 hingga lenyap nilainya kemerdekaan Indonesia. Yang mana Indonesia itu bukan hanya batas Yogyakarta. Pada ketika itu tidak ada lagi jalur proklamasi kemerdekaan  bagi seluruh Indonesia. Bahkan PDRI pun telah mengakui kembali ke kubu Yogya. Dan akhirnya mereka cukup puas dengan hasil “Persetujuan Renville II”, dikasih oleh Belanda cuma “Yogyakarta”. Dalam kekosongan seperti itu, tidak ada jalan bagi umat Islam Indonesia selain perlawanan melalui jalur proklamasi 7 Agustus 1949. Yakni Negara Islam Indonesia (NII), yang memiliki “furqon”. Sungguh jelas, bahwa pada waktu diproklamasikan Negara Islam Indonesia tersebut tidak ada negara  merdeka di Indonesia. Yang ada hanyalah  Negara Indonesia Serikat (NIS), sebagai negara boneka penjajah Belanda, serta RI Yogyakarta yang juga sebagai rekayasa dari Belanda, artinya bukan hasil proklamasi. Dengan demikian maka Proklamasi Negara Islam Indonesia bukanlah mendirikan negara dalam negara merdeka. Melainkan, yaitu mendirikan negara hasil merebut dari penjajahan Belanda..
Dikarenakan bahwa bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia itu intinya menyatakan berlakunya hukum Islam, maka Belanda memandang proklamasi demikian itu sangat berbahaya bagi Belanda daripada lembaga pemerintahan Yogya yang memakai nilai-nilai hukum dari kolonial Belanda. Pada waktu itu Belanda rupanya memakai pula pribahasa “tak ada rotan akar pun jadi”. Sama artinya bila Indonesia tidak sepenuhnya di bawah Nederland, maka biar  Belanda menciptakan nama “Republik Indonesia Serikat”  asalkan nilai-nilai hukum bawaan penjajahan itu tetap berlaku di Indonesia.

Pihak Belanda memahami nilai ideologi musuh barunya ini. Bahwa kubu NII, 7 Agustus 1949 adalah lebih berideologis dibandingkan dengan musuh yang terdahulu. Belanda yakin bahwa terhadap NII tidak dapat disodorkan perjanjian semodel Linggarjati dan Renville. Kaum penjajah itu sadar bahwa untuk menghadapi NII tidak bisa dilawan oleh Belanda secara langsung. Konfrotasi Terhadap negara yang berazaskan agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, berarti menanggung resiko perang yang berkelanjutan, dan merupakan kerugian bagi pihak Nederland.    Rupanya kaum kolonial itu berpikir: bila maju akan sia-sia, bila mundur berarti kalah, dan NII bertegak menggilas hukum-hukum produk Belanda. Maka, sebagai jalan keluarnya dari persoalan itu digunakan kembali politik divide et impera, Nederland memecah -belah bangsa Indonesia menjadi dua Kekuatan yang bertentangan. Dan yang satunya yakni kubu nasionalis (RI Yogyakarta)  disokong oleh Belanda supaya menolak dan melawan terhadap NII.
Terbuktilah hal diatas itu bahwa dalam tujuan menghancurkan jalur proklamasi 7 Agustus 1947 itu, Belanda berunding dengan pihak Nasionalis skuler pada tanggal 23 Agustus – 2 September 1949 dalam hal berdirinya apa yang mereka namakan Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan selubung UNI Nederland – Indonesia yang mana dimaksudkan sebagai tandingan terhadap Negara Islam Indonesia agar pengaruh dan kekuatannya menyusut. Dan masyarakat yang awam terhadap agama, supaya banyak memihak negara ‘boneka’ hasil dari konsesus dengan Belanda, sehingga hukum-hukum peninggalan kaum kafirin itu tetap berlaku di Indonesia.
Kaum Nasionalis sekuler telah bersedia menerima pembentukan RIS oleh Belanda. Hal itu Merupakan bukti pula bahwa yang mereka namakan RI (17-08-1945) itu secara hukum sudah tidak ada lagi. Dan menyerah kepada Belanda.. Akhirnya, maka sejak itu bahwa musuh yang dihadapi oleh Belanda ataupun oleh kubu nasionalis sekuler hanyalah NII. Nyata sekali bahwa antara pihak imperialis dan golongan Nasionalis sekuler dalam menciptakan UNI Nederland – Indonesia beserta RIS-nya adalah mempunyai tujuan yang sama ialah guna menghadapi perlawanan terhadap kubu NII, proklamasi 7 Agustus 1949,  sehingga hukum Islam tidak bisa diberlakukan di Indonesia.

5).  Sikap Kaum Borjuis dan Sikap Kaum yang Mengandalkan Partai-Partai Sebagai Wadah Perjuangan
Tentu saja bagi kaum sukeler / borjuis pada waktu itu lebih condong memihak RIS daripada NII. Mereka memilih RIS,  sebab di dalamnya itu  mereka lebih mudah meraih posisi dalam jabatan yang sesuai dengan ambisi mereka, serta memperoleh berbagai bantuan sarana dari Belanda. Dan memang NII itu tidak cocok dengan ideologi kaum yang berpendidikan Barat umumnya pada waktu itu. Karena itu pula mereka memihak RIS, walau titipan  dari Belanda. Artinya, Bukan hasil merebut dari penjajah !

Selain kaum nasionalis sekuler pun pada saat itu ada lagi golongan yang berpredikat Islam, tetapi mereka masih mempercayai  perjuangan dengan cara parlementer sehingga menganggapnya sebagai metoda perjuangan yang cocok dengan jaman modern.  Mereka menyangka bahwa hukum -hukum Islam itu bakal bisa ditegakkan dengan adanya partai-partai yang memiliki wakil-wakilnya di parlemen pemerintah yang sudah jelas menghapus kewajiban umat Islam menjalankan hukum-hukum Islam.. Mereka tidak mau “Baro’ah”, tidak melepaskan diri dari pemerintahan yang tidak berdasarkan pada hukum Islam itu,  mungkin karena tidak paham akan metoda perjuangan Nabi SAW, atau juga memang sengaja maunya begitu. Tegasnya mereka tidak berpegang pada  furqon, dan mengira bahwa yang dinamakan kafir itu hanyalah bangsa   Belanda. Sehingga berpihak kemana saja yang kuat yang  didalamnya ada harapan bagi mereka memperoleh kedudukkan. . Atau memang sebenarnya mereka takut terhadap kaum nasionalis  sekuler  yang didukung oleh Nederland. Sehingga RIS itu dianggap lebih kuat (Q.S.4:139) daripada NII dari segi persenjataan. Atau sebab pula kelihaian syaithan menggoda agar manusia-manusia itu tidak merasa campur-aduk dalam kebathilan. Dengan godaan nafsu dari syaitan yang tidak terasa itu membuat mereka berjiwa penakut dan bersikap kecut. Mereka lupa terhadap kebesaran Alloh, sehingga tidak menyadari hakekatnya kemenangan di hadapan Alloh SWT. Mereka tidak memperhatikan mengenai hal “Dhoolimi anfusihim” (Q.S.4:97 ) perihal yang menganiaya diri mereka sendiri hingga terlibat dalam penerapan hukum-hukum thagut, dengan membantu langkah-langkah syaithan. Yakni ikut memberi pengaruh kekuatan bagi pihak  yang mempertahankan tegaknya hukum-hukum  kehendak syaithan, dan melawan negara yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullaah SAW.

Dengan ditandatanginya RIS pada tanggal 27 Desember 1949 di Nederland, maka secara Ideologi kaum penjajah itu memperoleh beberapa keuntungan besar di antaranya:
a. Keuntungan dalam politik yaitu berhasil membuat perlawanan terhadap NII atas bantuan RIS sebagai bonekanya kaum penjajahan.
b. Secara ideologi dapat menerapkan nilai-nilai hukum peninggalan mereka, dan berhasil menekan perjuangan Islam di Indonesia. Sehingga tidak mengembang ke seluruh Dunia pada waktu itu.
c. Keuntungan moral bagi Belanda yaitu angkat kaki dari Bumi Indonesia, bukan karena kalah perang atau kedaulatannya direbut, melainkan dititipkannya melalui KMB (Konfrensi Meja bundar) pada tanggal 23 Agustus – 2 September 1949 di Nederland. Yang mana RIS itu kelahiran dari konsensus (KMB-CHARTER). dengan Belanda.

Yang Kita Tempuh Dewasa Ini
Mereka berselimut demi kehormatan serta menutupi muka, dan menjaga tanggapan negatip dari dunia Internasional. Maka, akhirnya yang menamakan Republik Indonesia Serikat (RIS) itu telah mengganti nama dengan “Republik Indonesia (RI)” pada tanggal 17 Agustus 1950. Akan tetapi, walau tinta dapat dihapus ; buku dapat diganti. Namun “Sejarah tetap hanya satu kali” bahwa tahun 1950 tetaplah tahun 1950, dan bukan tahun 1945. Maka, pada dasarnya bahwa nama ” R I ” yang muncul tahun 1950 itu tidak lain hanyalah sebagai penjelmaan dari “RIS” kelahiran dari KMB, yaitu persetujuan (konsensus) dengan Belanda. Dengan demikian maka baik itu namanya RIS maupun RI yang mereka cantumkan pada tanggal 17-08-1950, tidak lain adalah negara boneka kolonial Belanda merupakan “tandingan” atau “pemberontak” terhadap Negara Islam Indonesia (7 Agustus 1949).
Mujahid-mujahid Islam di Indonesia telah memproklamirkan negara Islam itu pada tanggal 7 -08-49, berarti pada tanggal tersebut itu adalah tonggak sejarah berhijrahnya atau Baro’ah-nya umat Islam Indonesia dari struktur (penjajahan) pemerintahan  yang bathil, serta beralih kepada yang berdasarkan kepada kebenaran Allah SWT. Tegasnya, bahwa pada ketika itu adalah mulai terjadinya “Furqon di Indonesia secara haqkiky”, sebagai landasan idiil dalam memisahkan yang haq dari yang berlawanan dengannya. Pada tanggal itulah umat Islam Indonesia mendirikan kedaulatannya tersendiri secara formal. Mempunyai lembaga pemerintahan yang menyatakan berlakunya hukum Islam secara kaffah. Berdaulat dan syah sebagai lembaga ulil amri kita. Disertai pula landasan struktural dalam forum Internasional.

Bunyi Proklamasi Negara tersebut di atas itu dimulai dengan kalimat “Bismillaahirahmaanirrahiim” merupakan pengakuan bahwa bumi kita Indonesia ini hak Alloh, dan hukum-hukum yang berlaku  di dalamya harus sesuai dengan yang diturunkan oleh-Nya. Juga, ditutup dengan “Allohu Akbar” sebagai bukti  pernyataan  adanya umat yang bertekad mewujudkan hukum-hukum Islam, sekalipun konsekuensinya berhadapan dengan senjata musuh.. Adanya proklamasi demikian itu sebagai realiasi dari bisikan hati yang mengakui kebenaran Hukum-hukum Alloh. Dan menyakini bahwa tugas pokok adalah mengabdi kepada “Rabbul ‘Aalamiin”. Sehingga siap menghadapi komponen apa pun yang merintanginya.
Meskipun pada saat ditulisnya buku ini NII sedang tidak de facto, namun secara de jure lembaga negara tersebut itu sudah memiliki landasan hukum dalam Islam sebagai kelembagaan tempat berhijrahnya Umat Islam di Indonesia. Itu bukan merupakan konsep lagi, melainkan berbentuk realitas yang sudah bukti menjalankan hukum-hukum Islam di pelbagai daerah yang pernah dikuasainya secara de facto sebelum terdesak oleh pihak musuh.

Tidak ada lembaga kepemimpinan yang telah membuktikan adanya furqon di Indonesia selain daripada NII proklamasi 7 Agustus 1949. Sebab itu diri wajib komitmen menjadi warganya sebagai pernyataan berhijrah atau berbaro’ahnya dari struktur pemerintahan yang tidak berdasarkan Qur’an  dan Sunnah Nabi Saw. Begitu juga sebagai penempatan diri, maka walaupun saat disusunnya tulisan ini lembaga Imamah kita ini sedang dalam keadaan terdesak sampai hukum pidana Islam-nya tidak bisa didhohirkan, namun jika sudah berbaiat kepada lembaga furqon tersebut itu, maka  memohon kepada Alloh tidak terlibat dosa dari praktek-praktek hukum jahiliyah ala pancasila, bila diri mati setelah memasuki furqon ini. Soal de facto-nya hukum Islam adalah soal amaliyah kita berdasarkan  ukuran kemampuan dalam menghadapi musuh. Adapun yang utama ialah berpijak pada nilai hukum Islam dalam persaksian Alloh. Sebab, bahwa menempatkan diri dalam furqon itu “tidak ada masttatho’tum”. Tegasnya tidak bisa diukur dengan kemampuan, artinya bahwa semua juga harus melakukannya dalam kondisi bagaimanapun. Dan tiap diri itu pasti mampu bila mau.

Resapkan dengan ketulusan hati bahwa beribadah menurut aqidah Islam itu, hubungannya tidak cukup antara pribadi dan Rabb-nya, melainkan harus berhubungan pula dengan kepemimpinan , yakni dalam bermasyarakat. Artinya, seseorang itu wajib melibatkan diri dalam kebersamaan (Q.S.3:103) sehingga merupakan pemerintahan. Sebagaimana umat zaman Nabi SAW, begitu pribadi-pribadinya menyadari adanya kebenaran Alloh, maka langsung pula menyatakan diri untuk ikut serta membela. Sehingga dapat mempertahankan Islam bersama-sama, makna lain yaitu berlembaga. Oleh karena itu, didalam Islam tidak ada hijrah cara diri pribadi, meski hanya dalam bentuk aqidah. Aqidah para pengikut Nabi itu adalah berada dalam ikatan kepemimpinan.      Jelasnya yaitu satu dalam segalanya. Sebab, bila tidak demikian berarti diri termasuk  didalam kebatilan. Islam adalah mencakup pelaksanaan hukum-hukumnya, tidak ditegakkan oleh pribadi.

Jadi, bagaimanakah pandangan kita terhadap ormas-ormas yang menamakan Islam, sedang di bawah dominasi pemerintah Pancasila ? Semuanya bila memungkinkan hanyalah dapat dijadikan alat sementara atau sarana  bila   dianggap  perlu oleh sebagian dari kita sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan kita bergerilya. Dalam hal itu tidaklah menjadi prisip. Karena, yang namanya Islam dalam kelembagaan mereka itu baru dalam “konsep”, belum jadi. Apalagi bila hal itu campur-baur dengan rekayasa dari musuh.
Islam dalam kelembagan NII bukan lagi konsep, tetapi sudah nyata dibuktikan oleh sejarah dengan melaksanakan peribadahan yang mahdhoh dan ghairu mahdhoh. Sehingga lembaga proklamasi 7 Agustus 1949 itu merupakan wadah perjuangan Islam secara Kaaffah. Bersamanya tidak  didekte oleh kaum kafirin / fasikin versi apapun  ! Jadi, secara undang-undang, kita ini sudah memiliki negara yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah.. Dari itu tidak bertujuan merebut apa yang dinamakan Republik Indonesia, sejak 17 Agustus 1945 sebagai penjelamaan dari RIS.  Kita telah berlepas diri darinya.  “RI baru”  itu jangan direbut,  bila merebutnya berarti menyeburkan diri ke dalam sistem kepemimpinan di luar Islam, dan berarti rela didikte oleh musuh.  R I yang sebenarnya secara de jure  sudah lenyap oleh pengibaran bendera putih di Yogyakarta. Adapun yang harus kira rebut yaitu “Kemenangan NII secara de facto”, atau menzhohirkan kembali Negara Islam Indonesia, Proklamasi 7 Agustus 1949 selaku hak kita sehingga terjadinya “Futuh”  !

Sekali kebenaran yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW diproklamirkan, maka sikap kita adalah wajib ( Fardhu ‘ain) mempertahankannya. Perjuangan NII bukanlah hanya hak seseorang yang menjadi oknumnya, melainkan hak umat Islam. SM. Kartosuwiryo tertangkap saat memimpin perjuangan. Dan “tidak Pernah” membubarkan kelembagaan NII. Sebab itu beliau siap dihadapkan ke muka regu tembak, tidak bersedia menandatangani teks perintah mencabut proklamasi, dan tidak menuruti perintah dari pemerintah  pancasilais untuk menghentikan perjuangan. Begitulah bahwa mempertahankan “furqon” wajib terus dilakukan sejalan dengan kemampuan kondisinya. Kini bagi beliau telah selesai menyadang tugas dari Alloh SWT. Maka, kita inilah selaku pelanjutnya. Jelas kita sambut dengan gembira karena merupakan kesempatan diri guna mencapai “Ridho Alloh”. Dan wajib bersyukur bahwa kita masuh diberikan usia untuk menjual diri kepada Alloh, serta memiliki kejelasan berada di jalan Allah Swt.

Satu kali yang “hak” dinyatakan berdiri, maka pada dasar sejarahnya tak dapat dihapuskan. Dari itu bagi yang tidak mengakui Proklamasi Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949 itu, berarti tidak mengakui kebenarannya yang telah ada.. Atau selain itu termasuk  pemecah ; perjuangan (mufarriq lil jama’ah). Cuma ada dua jalan (Q.S. 90 Al-Balad:10 ). Pengertianya bilamana posisi  seseorang itu tidak berada  pada jalan yang  “hak”, maka berarti berada pada jalan yang bathil. Selaras dengan itu bahwa lembaga “Imaamah”, yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949 itu adalah “satu-satunya” wadah yang memisahkan yang hak dari kekuasaan yang bathal di Indonesia, juga sesuai dengan bunyi proklamasinya yang menyatakan berlakunya hukum Islam bagi seluruh Umat Islam Indonesia, maka bagi yang melawannya berarti di luar garis hijrah dan wajib ditumpas. Demikianlah “furqon di Indonesia”. Allaahu akbar ! Begitulah  keharusan   kita  mempertahan Negara Islam Indonesia  !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar